Breaking News

Gejala Anti-Kritik Rezim Jokowi

Kepolisian menangkap Sri Rahayu (32) di kediamannya di Desa Cipendawa, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat pada Sabtu (5/8).

Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Mabes Polri Brigadir Jenderal Fadil Imran mengatakan Sri diamankan karena diduga menyebarkan berbagai konten yang menghina Presiden Joko Widodo, lambang negara, sejumlah partai politik, serta organisasi kemasyarakatan.

Dia melakukan itu melalui akun Facebooknya yang diberi nama Sri Rahayu Ningsih (Ny Sasmita).

“Tersangka mendistribusikan puluhan foto-foto dan tulisan dengan konten penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo, beberapa partai, organisasi kemasyarakatan dan kelompok dan konten hoax lainnya,” tutur Fadil, Minggu (6/8).
Dengan demikian, Sri masuk ke dalam barisan orang-orang yang juga pernah ditangkap karena diduga melakukan penghinaan kepada Presiden. Pada Juni lalu, dua orang juga ditangkap kepolisian terkait dengan dugaan penghinaan terhadap Presiden.

Terkait dengan hal tersebut, pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno mengatakan, penangkapan terhadap orang-orang yang menghina Jokowi itu bisa disebut sebagai simtom atau gejala pemerintahan Jokowi menuju pemerintahan yang anti-kritik.

Adi mengatakan bahwa belakangan ini banyak beredar fitnah dan kebencian, khususnya di media sosial. Banyak dari mereka berani melakukan itu karena berlindung di balik kata ‘demokrasi’.
Langkah Keliru

Walaupun demikian, menurut Adi, justru keliru ketika pemerintah menanggapi kritik dan pendapat masyarakat dengan langkah yang cenderung represif tanpa ada klarifikasi dari pihak yang bersangkutan.

Dia menegaskan masih banyak kalangan yang tidak memahami UU ITE beserta ancaman hukuman yang bakal menjeratnya.

Adi mengatakan, kepolisian mesti mengklarifikasi dan mendalami lebih jauh personal Sri Rahayu sebelum membawanya ke tahap hukum yang lebih lanjut, misalnya ditetapkan menjadi tersangka.

“Jangan apa-apa dilawan dengan status tersangka. Jangan sampai ada kesan represif,” tutur Adi.

Adi membandingkan rezim saat ini dengan mengatakan bahwa pemerintahan sebelumnya, yakni rezim kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia menilai pemerintahan saat itu dinilai lebih bisa ‘menerima’ kritik.
Penanganan Berbeda

Menurutnya, SBY pun tidak jarang menerima kritikan dan ujaran kebencian dan fitnah tak berdasar saat menjabat sebagai presiden. Semuanya terlontar di media sosial mau pun ditampilkan melalui unjuk rasa.

Akan tetapi, penanganan pemerintah saat itu berbeda dengan saat ini, yang cenderung lebih masif menangkap oknum-oknum terkait.

“Bahkan suatu ketika ada demonstran yang bawa kerbau gede ke Bunderan HI (Hotel Indonesia) sebagai simbol kritik ke SBY yang dinilai lamban menghadapi persoalan. Dan mereka tak ditangkap,” kata Adi.

Contoh lain, lanjut Adi, yakni saat SBY diserang oleh gerakan cabut mandat pada 2007.

Kala itu, pemerintah seolah membiarkan mereka menyuarakan pendapatnya, sehingga orang-orang yang bersangkutan tidak bernasib buruk seperti di masa pemerintahan Jokowi.

Namun, itu beda halnya dengan sekarang. “Beda halnya dengan saat ini. Demo gerakan cabut mandat bisa dijerat dengan Undang-Undang makar dan vonis hukumnya mengerikan,” ujar Adi.

(detik.com-asa)