Breaking News

Menyulap Cacat Rp 1,8 Triliun Dana Desa

Laporan audit BPK menemukan cacat dana desa sebesar Rp 1,8 triliun. Temuan ini diduga ‘disulap’ agar meraih status audit wajar tanpa pengecualian.

Selembar kertas berisi penggalan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan atas Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes) masih menyisakan pertanyaan bagi penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Angka Rp 1,8 triliun tertera sebagai cacat anggaran pelaksanaan dana desa. Namun kementerian itu tetap meraih status audit wajar tanpa pengecualian (WTP).

Kertas itu merupakan salah satu yang tersisa dari penggeledahan ruangan auditor utama BPK Rochmadi Saptogiri. Ia dicokok KPK tengah menerima suap Rp 40 juta, yang menjadi bagian dari commitment fee sebesar Rp 240 juta. Uang itu diduga diberikan oleh Inspektur Jenderal Kemendes Sugito untuk menyulap hasil audit. “Inilah yang menjadi alasan kami terus mendalami kasus ini,” ucap penyidik yang tak mau disebutkan namanya.

detikX mendapatkan hasil lengkap Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK dan Pertanggungjawaban Belanja Tahun 2015 dan Semester I Tahun 2016 pada Kemendes di DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Lembar kertas tersebut identik dengan salah satu halaman hasil audit di ruangan Rochmadi.

Laporan bernomor 28/ HP/ XVI/01/2017 itu mencatat lima masalah pertanggungjawaban Kemendes. Soal dana pendamping desa menjadi permasalahan pertama dalam LHP itu. BPK mempertanyakan perihal honorarium dan bantuan biaya operasional pendamping Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Mereka menganggap laporan Kemendes tidak wajar dan tidak dapat diyakini kebenarannya. Pada 2015, cacatnya sebesar Rp 425,19 miliar dan pada 2016 sebesar Rp 550,47 miliar.

Sedangkan permasalahan lainnya menyangkut kekurangan volume pekerjaan sebanyak tujuh paket pekerjaan senilai Rp 3 miliar dan pemahalan harga senilai Rp 974,58 juta pada Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal, kekurangan volume pekerjaan sebanyak tujuh paket pekerjaan senilai Rp 1,23 miliar pada Ditjen Pengembangan Daerah Tertentu, kekurangan volume pekerjaan sebanyak tiga paket pekerjaan senilai Rp 284,51 juta dan berpotensi kekurangan volume pekerjaan senilai Rp 236,61 juta pada Ditjen Pembangunan Kawasan Pedesaan, serta prosedur perekrutan tenaga ahli, asisten tenaga ahli, tenaga data entry, dan pramubakti yang tidak memadai.

Laporan itu menuliskan, honor dan biaya operasional pendamping desa berasal dari rupiah murni dan pinjaman luar negeri. Untuk tahun anggaran 2015, Kemendes mengalokasikan Rp 1,07 triliun, tetapi realisasi anggaran hanya Rp 425 miliar. Sedangkan pada semester pertama 2016, alokasi anggarannya Rp 1,3 triliun dengan realisasi hanya Rp 552 miliar.

Cacat dana desa itu memiliki daftar panjang. Hasil uji petik ke Provinsi Kalimantan Barat dan Jawa Timur menunjukkan biaya honorarium tidak dilengkapi dokumen pertanggungjawaban. Selain itu, bantuan operasional tidak dilengkapi dengan bukti dan tidak memenuhi persyaratan kunjungan di Provinsi Jawa Timur dan Kalimantan Barat.

Soal pemberian asuransi kepada pendamping pun tak dapat dipertanggungjawabkan. Karena pembayaran asuransi kepada tenaga pendamping profesional (TPP) di Jawa Timur tidak menggunakan mekanisme at cost (biaya yang dikeluarkan sesuai dengan bukti pengeluaran yang sah). Laporan BPK menyebutkan TPP tak dapat mencegah penggunaan dana desa yang tidak sesuai dengan prioritas sesuai dengan ketetapan Kemendes.

Angka salah manfaat dana desa ini cukup besar, yakni Rp 1,8 triliun. BPK mencatat pemanfaatan dana desa untuk keperluan penyelenggaraan pemerintah desa dan pembinaan masyarakat desa masih cukup besar. Padahal dua hal ini bukan prioritas pemanfaatan dana desa.

Pada 2015, realisasi anggaran yang tidak sesuai prioritas mencapai Rp 969 miliar. Dana desa dimanfaatkan masing-masing untuk penyelenggaraan pemerintahan desa senilai Rp 593,6 miliar atau 3,64 persen dari keseluruhan realisasi dana desa tahun 2015 dan pembinaan masyarakat desa senilai Rp 375,5 miliar atau 2,3 persen dari realisasi dana desa 2015.

Semester pertama tahun berikutnya, penggunaan dana desa di luar prioritas masih dilakukan. Realisasi anggaran yang tidak sesuai prioritas itu mencapai Rp 898 miliar. Dana desa dimanfaatkan masing-masing untuk penyelenggaraan pemerintahan desa senilai Rp 627,4 miliar atau 8 persen dari keseluruhan realisasi dana desa semester pertama 2016 dan pembinaan masyarakat desa senilai Rp 270,5 miliar atau 3,45 persen dari realisasi dana desa semester pertama 2016.

Selain soal penggunaan anggaran, BPK mencatat sengkarut rekrutmen TPP di Jawa Timur yang tidak sesuai dengan regulasi. Sebanyak 125 tenaga pendamping direkrut tanpa proses.

Rangkap pekerjaan tenaga pendamping juga menjadi masalah. Pengujian database Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama menunjukkan terdapat TPP yang memiliki ikatan kerja aktif dengan pihak lain, khususnya sekolah maupun madrasah. Mereka menjabat dosen, kepala sekolah, wakil kepala sekolah, hingga staf sebanyak 667 orang.

BPK juga menyoroti keberadaan TPP yang merangkap sebagai pengurus partai politik. Terdapat enam orang TPP yang terdata sebagai pengurus parpol, satu di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan lima orang di Partai Kebangkitan Bangsa.

Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Ahmad Erani Yustika membantah jika dikatakan dana pendamping desa tidak bisa dipertanggungjawabkan. Menurutnya, ada perbedaan persepsi antara BPK dan Kemendes soal pemberian gaji dan honor TPP. BPK menggunakan metode at cost, yakni sesuai dengan kehadiran. Sedangkan Kemendes menggunakan metode lumsum (keseluruhan/gaji bulanan) dengan alasan pendamping desa memiliki wilayah pendampingan lebih dari satu.

“Ya, berdasarkan cara mereka mengukurnya, seharusnya demikian. Tapi kan kami tidak berani melakukan apa pun tanpa ada aturan hukumnya. Jadi yang menjadi sumber perselisihan itu di situ. Setelah dijelaskan ke BPK, mereka mengerti,” ujarnya kepada detikX.

Sedangkan soal rangkap pekerjaan TPP, menurut Erani, hal itu terjadi karena selama ini Kemendes merangkul perguruan tinggi untuk mengisi tenaga pendamping. Dalam daftar yang diterimanya, beberapa tenaga TPP tengah mengurus proses kelulusan.

Seluruh polemik dalam LHP ini, dia menuturkan, sudah diselesaikan. Proses pemeriksaan dilakukan dua kali setahun dan setiap selesai pasti ada perbaikan. Soal dana bermasalah yang dipaparkan dalam LHP Kemendes, ujarnya, sudah diselesaikan sehingga mendapat status audit WTP.

Namun Direktur Indonesia Budget Center Roy Salam menganggap jawaban Erani ini terlalu menggampangkan masalah, seolah-olah temuan kejanggalan itu cuma problem administratif. Padahal besaran temuan kejanggalan ini menunjukkan bahwa permasalahannya lebih dari soal administratif.

Seharusnya Kemendes bersikap lebih serius setelah melihat audit BPK ini. Ia meyakini ada salah kelola anggaran dalam jumlah besar. Parahnya, uang ini sebagian besar bersumber dari utang, hampir 90 persen. “Misalnya masyarakat sudah pusing dengan isu pemerintah berutang, tiba-tiba ada temuan penggunaan dana utangnya keliru, pasti akan kelabakan,” tuturnya.

Hasil audit terhadap Kemendes menunjukkan dana desa yang seharusnya dipakai untuk belanja modal justru dipakai untuk belanja barang dan penggajian. Sehingga uang tersebut tidak memiliki dampak kepada masyarakat desa, justru hanya kepada kalangan tertentu.

Buruknya hasil audit Kemendes diperparah oleh operasi tangkap tangan terhadap auditor utama BPK Rochmadi. Seharusnya Kemendes waspada terhadap hasil auditnya. Jangan-jangan audit itu sudah disulap hingga terlihat cantik.

“Kalau itu kasus korupsi, ya tentu itu akan menjadi sesuatu yang tidak baik dari pemerintah. Ini utang, masak bukan digunakan untuk sesuatu yang produktif, malah terjadi penyimpangan,” katanya.

laporan investigasi (detik)
Reporter: Ibad Durohman.
Redaktur: Aryo Bhawono
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim