Breaking News

PDIP Goyang Kestabilan Pemerintah

HUBUNGAN buruk antara Komisi VI DPR dan Menteri BUMN Rini Soemarno masih terus berlanjut. Sudah hampir dua tahun sejak akhir 2015, Menteri Rini tidak rapat secara langsung dengan komisi yang menjadi mitra kerja Kementerian BUMN tersebut.

Pengamat hukum tata negara Feri Amsari menilai sikap DPR yang menolak rapat dengan salah satu menteri kabinet pemerintahan bukan sikap yang bijaksana. Apalagi sikap tersebut awalnya dilandasi sikap politis Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang memiliki ketidaksukaan terhadap Rini dan berujung memengaruhi anggota fraksi partai yang lainnya.

“Awalnya ini dilandasi sikap politis. Menurut saya, kurang arif rasanya jika menempuh jalan ini karena mengganggu stabilitas pemerintahan,” kata Feri ketika dihubungi Media Indonesia, kemarin.

Feri lebih lanjut berpandangan sikap DPR lebih jauh dapat mengganggu program pembangunan. Hal itu disebabkan Kementerian BUMN membawahkan banyak BUMN yang berkaitan di bidang infrastruktur dan keuangan serta berkaitan langsung dengan pembangunan fisik ataupun ekonomi di Indonesia.

DPR pun sebenarnya tidak bisa serta-merta meminta seorang menteri diganti karena hal tersebut merupakan hak prerogratif presiden. “Presiden sangat perlu bekerja dengan orang yang memang dipercayainya cakap serta mampu. Jika presiden menilai demikian terhadap seorang menteri, DPR harus menerimanya dan mendukung dengan melakukan tugas dan fungsinya,” lanjut Feri.

Sangat disayangkan partai utama pendukung presiden sebagai pencetus hubungan buruk dengan Menteri Rini sehingga bisa mengesankan ketidakstabil­an pemerintah. Feri berharap Presiden ikut menyelesaikan persoalan itu, bukan sekadar menunjuk menteri lain untuk mewakili Rini di DPR.

Enggan campuri
Namun, pihak Istana tampaknya sudah memasrahkan permasalahan tersebut kepada DPR. Juru bicara kepresidenan Johan Budi SP enggan mengomentari dampak buruk hubungan Menteri BUMN Rini Soemarno dengan Komisi VI DPR.

“Kalau itu, tanya saja kepada Menteri Koordinator Perekonomian (Darmin Nasution),” ujarnya. Sekretaris Kabinet Pramono Anung juga beberapa kali menghindar bila ditanyai tentang persoalan itu.

Rini Soemarno dilarang mengikuti rapat bersama DPR sejak Rapat Paripurna DPR pada Desember 2015 menerima rekomendasi Pansus Angket Pelindo II.

Salah satu rekomendasi pansus meminta Presiden Joko Widodo memberhentikan Rini. Pasalnya, Pansus Pelindo II menganggap Rini dan Direktur Utama Pelindo II RJ Lino melanggar konstitusi dalam perpanjangan kontrak pengelolaan PT Jakarta International Container Terminal (JICT) antara Pelindo II dan Hutchison Port Holding.

Sejak saat itu, Presiden Jokowi mengutus Menteri Keuangan untuk mewakili Rini dalam rapat dengan Komisi VI DPR.

Anggota Pansus Pelindo II dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu menyatakan belum ada niatan pansus guna mencabut keputusan yang melarang Rini untuk mengikuti rapat di DPR.

Ia menambahkan pencabutan keputusan itu pun tidak bisa langsung disetujui. Namun, harus ada kesepakatan antarfraksi sebelum diagendakan dalam paripurna. “Harus lewat rapat Badan Musyawarah (Bamus) dulu. Sejauh ini tidak ada rencana itu (mencabut),” pungkasnya.

Pansus Pelindo sendiri tidak memiliki suara bulat. Wakil Ketua Panitia Khusus Pelindo II dari Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa bahkan menyarankan pemerintah mengadukan persoalan itu ke Mahkamah Kehormatan Dewan.

“Rekomendasi Pansus Pelindo II terhadap Bu Rini memang cacat prosedur. Harusnya ada kebijakan dari pimpinan DPR untuk menganulir itu. Kalau sekarang tanpa dianulir, saya pikir harusnya jalan keluarnya lewat MKD bahwa itu ada cacat dalam perundang-undangan MD3,” ujar Desmond. (Pol/Nov/P-1)

(mediaindonesia.com)