Breaking News

Riset Ini Menyebut Pemerintah Tak Tegas Atur Iklan Rokok

Pengajar jurusan marketing The Business School Universitas Edinburgh Napier Skotlandia, Dr. Nathalia C Tjandra menyebut Pemerintah Indonesia tidak tegas terhadap perusahaan rokok, yang banyak melakukan pelanggaran etika bisnis lewat iklan rokok.

Nathalia mencontohkan ketidaktegasan pemerintah adalah membiarkan orang bebas membeli rokok. Padahal, dalam bungkus rokok itu tertera untuk 18 tahun ke atas. Faktanya ada sejumlah anak di bawah 18 tahun yang kecanduan rokok. Tidak ada sanksi yang ketat atau konsekuensi terhadap perusahaan rokok yang membahayakan kesehatan anak-anak.

Nathalia memutar video sejumlah bocah Indonesia yang bebas membeli rokok di warung dan kecanduan rokok.

“Perusahaan rokok tak beretika sebagai produk berbahaya di dunia. Mereka melakukan brain wash (cuci otak),” kata Nathalia dalam seminar bertajuk Etika Pemasaran Rokok di Indonesia: Implikasi terhadap Kebijakan Pengendalian Tembakau di University Club Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Rabu, 19 Juli 2017.

Nathalia juga menunjukkan perusahaan rokok yang banyak melanggar etika bisnis. Ia merujuk pada hasil penelitiannya bersama dosen Fakultas Kedokteran UGM, Dra. Yayi Suryo Prabandari dan dosen University of East Anglia (UEA) di Inggris, Lukman Aroean.

Riset tentang etika pemasaran rokok itu dilakukan tahun 2014. Tujuannya untuk mengetahui persepsi publik tentang etika pemasaran rokok di Indonesia. Riset dilakukan di enam kelurahan di Yogyakarta melalui diskusi dan wawancara.

Menurut dia, perusahan-perusahaan rokok menggunakan program CSR ntuk memasarkan produk mereka. Contohnya ketika terjadi erupsi Gunung Merapi, mereka berbondong-bondong datang untuk membantu memberikan sembilan bahan pokok. Tapi, di sela-sela bantuan itu terdapat sejumlah sales promotion girl atau SPG yang menawarkan rokok.

Pelanggaran lainnya adalah perusahaan rokok menawarkan iming-iming uang kepada masyarakat yang mau menonton olahraga, yang disponsori mereka misalnya pada olahraga bola voli. Pada baliho atau bilboard, perusahaan rokok juga menampilkan gambar orang merokok meski jelas-jelas ada tulisan peringatan rokok berbahaya.

Pada iklan rokok yang muncul di televisi perusahaan rokok juga piawai memasarkan produk mereka lewat tema-tema yang menarik remaja.

“Gambar seram pun jadi bagian periklanan mereka,” kata dia.

Di Indonesia, harga rokok sangat jomplang bila dibandingkan dengan harga rokok di negara-negara maju. Di Australia misalnya harga rokok per bungkus Rp 245 ribu. Sedangkan di Indonesia, harga rokok per bungkus murah di antaranya Rp 18 ribu per bungkus. Bahkan, orang bisa membeli bebas dalam bentuk eceran di warung-warung.

Sebagian responden yang diteliti, kata Nathalia mengatakan paham penerima keuntungan terbesar adalah industri rokok. Mereka juga menyebut regulasi pemerintah tentang iklan rokok tidak tegas sehingga sebagian masyarakat kebingungan.

Padahal, campur tangan pemerintah sangat penting untuk mengubah bisnis perusahaan yang beretika.

Ia membandingkan situasi di Indonesia yang menjadi target empuk industri rokok dengan Amerika Serikat sebagai produsen rokok. Pemerintah AS mengatur secara tegas tentang iklan rokok.

Bahkan anak-anak muda di negara Abang Sam itu, kata Nathalia aktif melakukan kampanye menolak rokok dengan cara-cara yang kreatif.

“Mereka tidak hanya menyatakan rokok itu berbahaya, tapi lewat pendekatan psikologi,” kata dia.

Yang dimaksud pendekatan psikologi itu misalnya anak-anak muda di AS berani mengatakan tidak merokok itu keren, hidup sehat itu keren, tidak merokok itu disukai teman-teman.

Dosen Fakultas Ekonomi UGM, Dr. John Suprihanto, mengatakan perusahaan rokok tidak memikirkan kesehatan dan menarget kalangan ekonomi menengah ke bawah. Ia merujuk pada data Badan Pusat Statistik yang menunjukkan orang miskin banyak menghabiskan uangnya untuk membeli rokok kretek filter.

Pasar rokok, kata John di Indonesia sangat prospektif dilihat dari penjualan rokok yang laris. Perusahaan rokok punya brand yang sangat melekat dan fokus memuaskan konsumen.

“Mereka menggunakan semua pendekatan dalam pemasaran. Juga melakukan pembaharuan secara terus menerus. “Kalau dicermati konsumen terpaksa dan rela membeli atau paksarela, bukan sukarela. Sulit lepas dari zat adiktif itu,” kata dia.

Perusahaan rokok tidak hanya menyasar individu-individu, melainkan juga sekelompok orang atau organisasi. Contohnya adalah promosi lewat program CSR. Promosi ke kelompok atau organisasi ini kata dia pengaruhnya kuat.

Ia mempertanyakan peran negara yang kurang tegas melakukan tindakan terhadap segala bentuk pelanggaran etika bisnis. Padahal, peran pemerintah sangat penting. Dia mencontohkan daerah yang bagus dalam mengatur iklan rokok. Misalnya Kabupaten Kulon Progo yang tegas melarang iklan rokok. Daerah ini berani kehilangan pendapatan daerah dari iklan rokok.

Cara lainnya untuk lepas dari rokok adalah perlu rekayasa sosial. Pemasaran sosial punya tugas memasarkan supaya orang-orang tidak merokok, memasukkan nilai-nilai kepada yang menjadi target pasar rokok (remaja) untuk mengubah perilakunya.

Wakil Dekan Fakuktas Kedokteran UGM, dr. Yodi Mahendradhata, membandingkan kebijakan pemerintah Indonesia dengan Singapura dalam memperlakukan iklan rokok. Singapura merupakan negara di Asia Tenggara yang tidak bersahabat dengan industri rokok.

Negara itu tahun 1971 menjadi negara pertama yang melarang iklan rokok. Saat ini Singapura juga terus memperketat aturan tentang rokok. Mereka menyiapkan larangan display atau penempatan rokok di toko-toko modern.

Aturan lainnya adalah mengawasi iklan rokok melalui internet. Bahkan Singapura melakukan advokasi hingga mengeliminasi rokok. Dampaknya angka prevalensi merokok di negara itu turun drastis.

“Singapura kontras dengan apa yang terjadi di Indonesia,” kata Yodi.

(tempo.co-shinta maharani)