Breaking News

Ada ‘Ancaman’ di Balik Anggaran Subsidi Era Jokowi

Di setiap masa pemerintahan, Indonesia selalu mengalokasikan dana subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tidak tanggung-tanggung, nilainyabisa mencapai ratusan triliun rupiah.

Tujuan pemerintah mengalokasikan dana subsidi adalah, sebagai bantuan kepada 40{5c3cb05e12662dfc7a9890457508f95bdca7cff27e5b02e7b58f4025816289e5} masyarakat Indonesia yang berada di garis kemiskinan. Subsidi dinilai mampu menjaga daya beli serta melindungi masyarakat tidak mampu, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan.

Alokasi anggaran subsidi juga dibagi dalam dua sektor, yakni energi dan non energi. Seperti yang telah ditetapkan dalam APBN 2017 totalnya Rp 160,1 triliun, yang terdiri dari subsidi energi Rp 77,3 triliun dan subsidi non energi Rp 82,7 triliun.

Namun, pada pertengahan tahun ini pemerintah kembali melakukan revisi anggaran bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), untuk menyesuaikan perkembangan ekonomi Indonesia. Hasilnya, dalam pembahasan awal bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR sebelum disahkan dalam nota keuangan, terdapat perombakan asumsi dasar ekonomi dari yang sebelumnya ditetapkan pada APBN 2017, perombakan itu juga berdampak pada kebijakan subsidi pemerintah.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan yang dikutip, Jumat (7/7/2017). Dalam pembahasan awal atau Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN) terdapat perubahan anggaran subsidi. Dalam pembahasan awal dan telah disepakati Banggar DPR, anggaran subsidi kembali diusulkan naik dengan total nilai Rp 182,1 triliun.

Untuk subsidi energi menjadi Rp 103,1 triliun dari pagu Rp 77,3 triliun. Rinciannya, subsidi listrik naik Rp 7 triliun menjadi Rp 52 triliun dari APBN 2017 Rp 45 triliun. Sedangkan subsidi BBM naik Rp 300 miliar menjadi Rp 10,6 triliun dari APBN 2017 yang sebesar Rp 10,3 triliun. Sedangkan subsidi elpiji 3 kg naik cukup tinggi sebesar Rp 18,5 triliun menjadi Rp 40,5 triliun dari pagu Rp 22 triliun.

Untuk subsidi non energi justru mengalami penurunan dengan total Rp 79,0 triliun dari pagu Rp 82,7 triliun. Rinciannya subsidi pangan tetap Rp 19,8 triliun, subsidi pupuk tetap Rp 31,2 triliun, subsidi benih tetap Rp 1,3 triliun, Public Service Obligation (PSO) tetap Rp 4,3 triliun, subsidi bunga kredit program dari Rp 15,8 triliun turun menjadi Rp 13,0 triliun, dan subsidi pajak atau pajak Ditanggung pemerintah (DTP) dari Rp 10,3 triliun turun menjadi Rp 9,4 triliun.

Jika dilihat lebih dalam lagi, di balik besarnya dana pengelolaan subsidi di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang diusulkan pemerintah pada RAPBN Perubahan (RAPBN-P) 2017 masih memiliki ‘ancaman’, yaitu masih banyaknya ketidaktepatsasaran penyerahan subsidi di kalangan masyarakat dan belum efektifnya program kerja pemerintah yang berkaitan dengan subsidi.

Seperti pada subsidi energi, terutama subsidi listrik dan subsidi elpiji 3kg. Untuk subsidi listrik yang meningkat Rp 7 triliun dikarenakan program pembatasan subsidi listrik untuk pelanggan rumah tangga 450 VA tidak berjalan, lalu alokasi untuk pembayaran kembali pelanggan rumah tangga 900 VA yang sebelumnya ditetapkan sebagai rumah tangga mampu namun setelah diverifikasi masih layak menerima subsidi, dan yang terakhir dikarenakan penyesuaian harga minyak dunia.

Sedangkan untuk subsidi elpiji 3kg yang naik Rp 18,5 triliun disebabkan oleh dampak pengubahan parameter subsidi, penundaan penyesuaian harga jual eceran elpiji 3 kg sebesar Rp 1.000 per kg, dan tidak berjalannya kebijakan pembatasan alokasi subsidi atau distribusi tertutup elpiji 3 kg.

Selain itu, pemerintah juga memangkas alokasi dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) alias subsidi KPR yang turun Rp 6,6 triliun. Sehingga, pada RAPBN-P tahun ini, dana subsidi KPR menjadi Rp 3,1 triliun dari pagu Rp 9,7 triliun.

Pemangkasan dikarenakan belum efektifnya penyaluran FLPP, dan alokasi disesuaikan dengan peruntukannya. Bahkan, realisasi di tahun sebelumnya yang masih banyak tunggakan masuk ke dalam salah satu faktor pemangkasan.

Ancaman juga masih terjadi dalam realisasi subsidi bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR), di mana pada APBN dianggaran Rp 9,02 triliun. Adapun penyaluran KUR untuk 2017 ditargetkan mencapai Rp 110 triliun dengan harapan banyak disalurkan ke sektor produktif. Realisasi penyaluran KUR 2016 sekitar 78{5c3cb05e12662dfc7a9890457508f95bdca7cff27e5b02e7b58f4025816289e5} ke sektor perdagangan dan 22{5c3cb05e12662dfc7a9890457508f95bdca7cff27e5b02e7b58f4025816289e5} ke sektor produktif seperti pertanian, perikanan.

Tidak hanya itu, pemerintah juga mengalokasikan dana perlindungan sosial di APBN 2017 sebesar Rp 158,47 triliun atau naik 5,1{5c3cb05e12662dfc7a9890457508f95bdca7cff27e5b02e7b58f4025816289e5} dibandingkan 2016 yang sebesar Rp 150,84 triliun. Dana tersebut tentunya dialokasikan berdasarkan program, seperti program keluarga harapan (PKH), penyaluran subsidi pangan (beras sejahtera/rastra), pengalihan subsidi rastra menjadi bantuan pangan dengan mekanisme non tunai di 44 kota besar.

Lalu, meningkatkan akses penyandang disabilitas yang mendapat hak dasar seperti akte, NIK, KTP, alat bantu, kartu identitas penyandang disabilitas. Serta meningkatkan jumlah keluarga miskin yang memperoleh bantuan kelompok usaha ekonomi produktif di pedesaan.

Yang jadi masalah, belum lama ini Presiden Jokowi geram dengan realisasi penyaluran atau distribusi rastra terlambat dari jadwal yang seharusnya. Sehingga berdampak pada survei ekonomi Indonesia yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). (wdl/wdl)

(detik.com)