Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (Sekjen PBB) Antonio Guterres mendesak pemerintah Myanmar untuk membebaskan dua wartawan kantor berita Reuters di Yangon, Kamis (14/12). Menurut Guterres, penangkapan itu merupakan sinyal merosotnya kebebasan demokrasi di Myanmar, di tengah pelanggaran hak asasi manusia yang dramatis terhadap etnis Rohingya.
“Ini jelas memprihatinkan. Kebebasan pers tergerus,” kata Guterres yang sedang berkunjung ke Tokyo, Jepang seperti dilaporkan Reuters.
“Dan mungkin alasan penangkapan jurnalis tersebut adalah karena mereka melaporkan apa yang mereka lihat dalam tragedi kemanusiaan yang luar biasa,” kata Sekjen PBB itu merujuk krisis kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya.
Wa Lone dan Kyaw Soe Oo menghilang Selasa (12/12) malam setelah mengundang pejabat kepolisian untuk makan malam di pinggiran Yangon. Hingga Kamis malam, Reuters belum mendapat kabar soal penangkapan mereka secara resmi.
Kementerian Informasi Myanmar dalam sebuah pernyataan menyebut dua wartawan kantor berita Reuters dan dua polisi didakwa undang-undang kerahasiaan peninggalan Inggris. Undang-undang yang ada sejak 1923 itu membawa ancaman penjara maksimal 14 tahun penjara.
Para reporter didakwa “mendapatkan informasi secara ilegal dengan tujuan membaginya dengan media asing,” kata kementerian dalam pernyataan, bersama foto kedua reporter yang diborgol.
Selain Gutteres, pemerintah Inggris dan Parlemen Uni Eropa juga menyerukan desakan untuk membebaskan kedua wartawan. “Saya berharap otoritas Myanmar membebaskan mereka sesegera mungkin,” kata Presiden Parlemen Eropa, Antonio Tajani.
Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson menyatakan keprihatinan mendalam atas penangkapan dua wartawan di Myanmar. “Kami berkomitmen pada kebebasan berpendapat dan kemampuan orang-orang untuk melaporkan fakta serta mengungkapkannya kepada publik soal apa yang terjadi di Rakhine State,” kata Johnson.