Militer Myanmar ‘sengaja membakar’ desa-desa warga Muslim Rohingya di dekat perbatasan Bangladesh, kata organisasi hak asasi manusia, Human Rights Watch (HRW).
Dalam keterangan yang dikeluarkan hari Jumat (15/09), HRW mengatakan pembakaran dilakukan setelah memaksa warga desa mengungsi dan langkah ini ‘sepertinya menjadi modus untuk melakukan pembersihan etnik terhadap warga Muslim Rohingya di Negara Nagian Rakhine’.
“Penelitian lapangan yang kami lakukan menguatkan foto-foto satelit bahwa militer Myanmar bertanggung jawab secara langsung atas pembakaran massal desa-desa di Rakhine utara,” kata Phil Robertson, wakil direktur Asia HRW.
“PBB dan negara-negara anggota harus segera mengambil langkah menekan Myanmar menghentikan kekejaman ini dan mengakhiri pengusiran paksa orang-orang Rohingya dari Myanmar,” tambahnya.
Data yang diperoleh HRW berdasarkan foto-foto satelit terbaru memperlihatkan 62 desa di Rakhine utara menjadi sasaran pembakaran antara 25 Agustus hingga 14 September 2017. Dari jumlah tersebut, 35 desa mengalami kerusakan parah.
Sebelumnya, organisasi HAM Amnesty International mengeluarkan foto-foto yang menunjukkan ‘upaya sistematis dan terstruktur untuk membakar desa-desa Rohingya di Myanmar barat’.
Amnesty mengambil kesimpulan ini dari foto satelit, foto dan video di lapangan dan wawancara dengan para saksi mata.
‘Bukti tak terbantahkan’
“Bukti-bukti yang ada tak bisa dibantah. Aparat keamanan Myanmar membakar (desa-desa) di Rakhine utara dalam kampanye yang terencana untuk mengusir orang-orang Rohingya dari Myanmar,” kata Tirana Hassan, direktur respons krisis Amnesty.
“Tak diragukan lagi, ini adalah pembersihan etnis,” tegas Hassan.
Sekitar 389.000 warga minoritas Rohingya menyelamatkan diri ke negara tetangga Bangladesh untuk menghindari gelombang kekerasan menyusul serangan milisi terhadap pos-pos keamanan yang dibalas dengan aksi militer.
Warga Rohingya telah sejak lama berada di Rakhine namun selama beberapa generasi tidak diakui sebagai warga negara. Pemerintah Myanmar menyebut mereka sebagai ‘imigran gelap’.
Para pegiat HAM mengatakan gerakan mereka dibatasi dan tak mendapatkan akses ke lapangan kerja, pendidikan, maupun kesehatan yang membuat mereka menjadi kelompok etnik ‘yang paling mengalami persekusi paling parah’.
Para pejabat PBB menggambarkan apa yang menimpa warga Rohingya dalam tiga pekan terakhir ‘sebagai jelas-jelas pembersihan etnik’.
Pemerintah Myanmar membantah menjadikan warga sipil Rohingya sebagai sasaran dan mengatakan mereka ‘melakukan pembersihan terhadap para teroris’.