Drama eskekusi mati di Pulau Nusakambangan pada 2016 membuat mafia narkoba dunia menilai hukum Indonesia lemah. Akibatnya, mereka ramai-ramai menggempur Indonesia kembali dengan barang laknat. Tak tanggung-tanggung, aparat menangkal 1,3 ton sabu yang ditangkap dalam dua kali penggerebekan.
“Dalam kasus mafia narkoba, rupanya penegakan hukum kita yang lemah dalam arti tidak memberikan efek jera,” kata guru besar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Hibnu Nugroho kepada detikcom, Kamis (27/7/2017).
Oleh sebab itu, eksekusi mati yang belum juga dilaksanakan satu pun di 2017 harus secepatnya dilaksanakan. Sebab, lambannya eksekusi mati terhadap terpidana mati yang telah berkekuatan hukum tetap, membuat para mafia narkoba memandang sebelah mata atas wibawa hukum Indonesia.
“Efek takut pada hukum apalagi para penegak hukum tidak ada sama sekali di Indonesia,” cetus Hibnu.
Apalagi, di Asia Tenggara, Indonesia yang paling lembek terhadap mafia narkoba. Singapura, Malaysia dan Filipina tegas dan konsisten menjatuhkan hukuman mati terhadap mafia narkoba. Bahkan, Presiden Filipina menjadikan perang narkoba sebagai gerakan untuk menyelematkan negerinya dari bahaya kartel narkoba.
“Inilah yang menjadikan pasar narkoba dari Singapura, Malaysia, bahkan sekarang dari Filipina bergeser ke Indonesia. Oleh karena itu faktor penegakan hukum kita yang harus kita tinjau ulang,” cetus Hibnu.
Sebagaimana diketahui, penyelundupan 1 ton sabu diungkap di Anyer, Banten pada pertengahan Juli 2017. Belum dua minggu berlalu, 300 kg narkoba kembali menyerbu Indonesia. Aparat yang sigap segera menangkal dan membekuk jaringan kartel narkoba internasional itu di Pluit, Jakarta.
Jaksa Agung HM Prasetyo sebagai otoritas tunggal pelaksana eksekusi mati, belum memberikan kepastian kapan eksekusi mati jilid IV dilaksanakan.
“Masih belum. Kita maunya nanti waktunya tepat kita akan laksanakan eksekusi,” ujar Jaksa Agung HM Prasetyo di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (5/6/2017).