Luas Singapura mungkin tidak sampai sebesar DKI Jakarta. Namun, negaranya menyimpan sebuah kantor berita raksasa yang berperan menyebarkan kabar dari seluruh negerinya, dan juga dunia luar, bernama Mediacorp.
Disebut raksasa karena semua media dalam bentuk dan format apa pun, mulai TV, radio, hingga berita digital, menjadi satu dalam sebuah tempat setinggi 12 lantai dengan luas total setara 12 kali lapangan sepak bola.
“Kadang, tiap-tiap dari kami (harus) sebut pilar A, B, dan seterusnya untuk janjian ketemu. Hei aku di sini ya, hei aku di situ ya. Soalnya siapa saja bisa memakai meja yang mana saja, dan tempat ini luas,” kata Patricia Ho, pegawai bagian rumah tangga di Mediacorp,
Patricia yang mengaku sudah sekian puluh tahun bekerja di sana terus bergegas, melewati lorong tempat minuman cokelat yang disediakan gratis bagi para pegawainya.
Bergegas, seperti kebanyakan warga Singapura, menjadi kebiasaan yang terlihat manakala sejumlah pewarta dari Indonesia yang diundang RGE Journalism Workshop 2017 bisa memasuki ruang demi ruang, berpindah dari satu lift ke lift lain, di kantor yang beralamat di 1 Stars Avenue kompleks industri Mediapolis itu.
Lagi pula, hari itu bukan rombongan pewarta Indonesia berisi 20-an orang ini saja yang ingin lihat-lihat Mediacorp. Program media visit dibuka untuk siapa saja di kantor yang dimiliki Temasek ini sehingga jeda waktu kunjungan bagi siapa saja cukup rapat.
Siaran langsung via ransel dan burger nasi lemak
Sebelum tur ruang redaksi yang bersifat rahasia dan terlarang bagi kamera pengunjung, kami mendapat kesempatan bertemu Jaime Ho, Chief Editor Digital News Mediacorp.
Jaime duduk bersama di depan kami dalam ruangan putih dengan langit-langit tinggi di sudut segitiga bagian gedung, yang hanya berisi kursi-kursi dan layar selebar 4-5 meter yang tergulung.
“Di sini, ritme kerja kami diawali dari memonitor media sosial. Ketika misalnya ada breaking news, reporter kami juga melaporkan sesuatu dalam media digital, Facebook Live, tentu sifatnya cepat, lalu foto, kanal berita digital, kemudian TV,” ujar Jaime.
Satu yang unik, pembaca di Singapura kurang begitu berminat dengan berita-berita politisi dan politik.
“Akan jadi berita besar jika terdapat problem di sistem transportasi MRT, subway, atau berita-berita kriminal, dan berita ringan, hiburan, seperti ketika sebuah gerai cepat saji memperkenalkan burger nasi lemak,” ujar Jaime lalu tersenyum.
Ketika ditanya bagaimana dengan pemberitaan tentang Indonesia, Jaime cukup lama mengangkat bola matanya ke atas. Ia lalu meminta maaf bahwa mungkin cakupannya tidak ke sana, meski ia mendengar berita tentang tokoh-tokoh politik di Indonesia.
Pertanyaan lainnya yang juga mengemuka adalah bagaimana ketika para pewartanya menghadapi perubahan dari media cetak ke digital.
“Ya, mereka menghadapi masa-masa transisi, dan awalnya memang kesulitan. Namun, penjelasan terus diberikan tentang dunia media digital, dan mereka beradaptasi,” kata dia lalu mengatakan bahwa para pewarta terus membuat berita seharian dan satu orang bisa membuat 100 tulisan.
Jumlah 100 tulisan itu sendiri tumbuh karena apa pun ditulis, tanpa harus mengacu pada medium yang digunakan, mencakup Twitter, Instragram, Facebook Live, dan apa pun yang bisa diperoleh dari media massa luar negeri yang semuanya tersalur ke sebuah ruang kontrol dengan sekian puluh layar.
Pelaporan berita dari sekitar 1.000 pewarta ini mencakup puluhan kamerawan yang siaran langsung di tempat tanpa mobil siaran. Mereka mengandalkan satu kamera panggul yang terkoneksi ke sebuah ransel Live U.
“Satu pewarta ini mereka membawa kamera sekaligus menyiarkannya,” tambah Jamies Hollies, perwakilan untuk media visit di ruang redaksi, saat tur selepas bertemu Jaime Ho di gedung yang baru sekitar 3 bulan ditempati ini.