Konsep smart city atau kota cerdas makin akrab di telinga masyarakat. Pemerintah daerah pun seakan saling berlomba untuk menerapkannya. Namun terdapat sejumlah kendala untuk merealisasikannya.
Mulai dari kebutuhan dana pengembangan yang tak kecil, infrastruktur, dan perangkat yang sulit diperoleh. Untuk mengadopsi konsep kota cerdas juga biasanya membutuhkan waktu yang panjang.
Kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, dan Bandung, cukup lama mengadopsi konsep kota cerdas. Kota-kota tersebut kini menjadi panutan bagi kota dan kabupaten lain seperti Batam, Banyuwangi, Bojonegoro, dan Bali dalam penerapannya.
Investasi besar
Terkait dana, data dari Citiasia Center for Smart Nation menyebut total nilai investasi pengembangan kota cerdas di seluruh Indonesia bisa menyentuh angka US$400 miliar (sekitar Rp5,4 triliun).
Angka yang tak sedikit bagi kota dan kabupaten yang ingin mengembangkan kota cerdas. Sekaligus angka yang menggiurkan bagi mereka yang ingin berinvestasi di pengembangan teknologi smartcity.
Apalagi, pemerintah menargetkan akan ada 100 kota cerdas hingga 2019 nanti. Bagi pelaku industri teknologi, ini tentu jadi peluang besar. Pelakunya pun terbilang masih minim di Tanah Air.
“Kalau seperti DKI kan mereka mengambil (dana)-nya lewat program CSR, tapi kalau di daerah lain mereka investasi sendiri, bangun sendiri. Misal bangun serat optiknya (fiber optic) dulu, lalu setahun kemudian bangun data center,” tutur Fanky Christian, Ketua Asosiasi Sistem Integrator dan Sekuriti Indonesia (ASISINDO), saat ditemui di bilangan Thamrin, Jakarta, Kamis (2/11).
Penyediaan infrastruktur bertahap
Fanky juga mengungkap ada tahapan untuk membangun kota cerdas. Pertama adalah pembangunan infrastruktur dasar, yaitu penyediaan internet. Salah satunya lewat pembangunan jaringan kabel fiber optik.
Rampung dengan infrastruktur dasar, pembangunan pusat pengolahan data jadi fokus berikutnya. Setelah jejaring dan pengolahan data selesai, pemerintah bisa melanjutkan pengembangan dengan memasukkan dan mengolah data kota yang didapat dari sensor, aplikasi, atau lainnya.
Untuk kasus Surabaya misalnya, pemerintah kota mengambil data lalu lintas dengan menempatkan CCTV yang bisa membaca kecepatan kendaraan. Sementara pemerintah Jakarta, mengumpulkan data keluhan masyarakat lewat aplikasi Qlue. Pengembangan lain bisa bermacam-macam tergantung kebutuhan pemerintah. Sensor pun dipasang disungai untuk memantau debit air guna peringatan banjir, misalnya.
Perangkat langka
Masalah lain yang menghadang implementasi adalah harga perangkat yang tinggi dan terbilang sulit diperoleh.
Penyedia solusi teknologi kota pintar didominasi pemain asing, sehingga perlu dana yang tak sedikit untuk membeli perangkat tersebut. Pemain lokal pun masih sangat sedikit yang sanggup bersaing.
“Mungkin impornya harus dikurangi karena teknologi ini masih belum ada di Indonesia dan dibutuhkan,” kata Baki Lee, Direktur PT Global Expo Management, saat ditemui di tempat yang sama.