Breaking News

Menghentikan Kebocoran Dana Desa

DANA desa digulirkan pemerintah sejak 2015. Tujuannya mulia, yakni untuk memacu pembangunan desa, baik pembangunan infrastruktur desa maupun pemberdayaan masyarakat desa, yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

Alokasi dana yang dikucurkan untuk desa pun terus meningkat. Awalnya, pemerintah menggelontorkan dana Rp20,76 triliun pada 2015, kemudian menjadi Rp46,9 triliun pada 2016, Rp60 triliun pada 2017, dan Rp120 triliun pada 2018.

Sayang, dengan dana begitu besar demi tujuan yang begitu mulia, penyaluran dana desa itu tidak lepas dari upaya penyelewengan aparat desa sampai pemerintah. Alarm penyelewengan terus berbunyi.

Program bagus nan penting bagi bangsa tersebut, jika tidak segera dibenahi, bisa bernasib seperti kapal Titanic yang perlahan tenggelam akibat kebocoran. Sejauh ini sudah ada sekitar 300 laporan penyelewengan dana desa yang diterima Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pengaduan yang diterima Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) jauh lebih banyak lagi, mencapai 600 laporan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menemukan dugaan penyelewengan dana desa yang lebih mencengangkan lagi.

Ditemukan ada penggunaan dana hampir Rp1 triliun untuk honor pendamping desa yang tidak dilengkapi tanda terima di Kemendes PDTT mulai 2015 hingga semester I 2016.
Temuan BPK itu diungkapkan Ketua Tim Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu BPK, Yudi Ayudia Baruna, saat menjadi saksi dalam sidang dugaan suap kepada auditor utama BPK Rochmadi Saptogiri di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (13/9).

Duduk sebagai terdakwa Jarot Budi Prabowo selaku Kepala Bagian Tata Usaha dan Keuangan di Inspektorat Jenderal Kemendes PDTT dan Sugito selaku Irjen Kemendes PDTT.

Keduanya didakwa menyuap Rochmadi Rp240 juta. Uang diberikan melalui Kepala Auditorat Keuangan Negara BPK Ali Sadli. Berdasarkan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu di Kemendes PDTT diketahui bahwa ada dana Rp425 miliar (dari total anggaran Rp1 triliun) pada semester I dan II 2015 tanpa dilengkapi tanda terima.

Pada semester I 2016, nilai temuan itu naik menjadi Rp550 miliar. Ada ketidakwajaran di sana. Terang benderang sudah, dana desa dikelola sesuka hati tanpa tertib administrasi. Bagaimana mungkin honor pendamping desa tidak dilengkapi tanda terima?

Bukankah korupsi selalu berawal dari tidak tertib administrasi? Hasil pemeriksaan BPK itu bagai mimpi buruk yang jadi kenyataan. Dengan anggaran dana desa mencapai Rp127 triliun untuk anggaran 2015-2017, program itu memang kue yang sangat menggiurkan bagi tikus-tikus uang negara.

Kenyataannya sangat memalukan dan memuakkan ketika tikus-tikus itu bukan hanya dari sisi penyelenggara desa, melainkan juga aparatur negara. Kita berharap, sangat berharap, penyelewengan dana desa yang diduga dilakukan aparat desa sampai pemerintah diusut tuntas.

KPK pantang hanya mengusut tuntas kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat di Kemendes PDTT dan auditor BPK yang sedang dalam proses persidangan di pengadilan. Jauh lebih penting lagi ialah mengusut temuan BPK terkait dengan adanya penggunaan dana hampir Rp1 triliun untuk honor pendamping desa yang terindikasi tak beres.

Jangan pernah ada pembiaran atas kebocoran dana desa sekecil apa pun. Jika itu dibiarkan, program dana desa yang mulia tersebut bisa bernasib sama seperti kapal Titanic yang perlahan tenggelam akibat kebocoran.

mediaindonesia.com (editorial)