Breaking News

Penerapan Pasal Makar Jangan Serampangan

PENERAPAN pasal makar dapat membuat hidup seorang terdakwa menjadi sengsara. Hak seorang warga negara menjadi terabaikan begitu saja kendati pengadilan belum menjatuhkan vonis terhadap yang bersangkutan.

Hal itu disampaikan saksi pemohon Yudi Pratama di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, kemarin. Dirinya menuturkan pengalaman dijerat pasal makar ketika masih menjadi anggota Gafatar.

Kehidupan sosialnya menjadi kacau karena mendapat stigma dari lingkungan terdekat. “Kami mendapat kerugian materiil, psikologis, serta kebebasan yang terenggut,” kata Yudi dalam sidang uji materi yang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat.

Mahkamah Konstitusi menggelar sidang uji materiil Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait dengan frasa ‘makar’ untuk dua permohonan, yakni Nomor 7/PUU-XV/2017 dan Nomor 28/PUU-XIV/2017. Agenda sidang ialah mendengarkan keterangan ahli dari pemohon serta DPR.

Yudi pernah diusir paksa dari Ka­limantan lantaran ketahuan menjadi anggota Gafatar. Seorang kawannya bahkan dipersulit saat mengurus SKCK. “Teman saya ditulis terlibat tindakan kriminal. Padahal, putusan pengadilan terkait Gafatar saat itu belum ada,” tegasnya.

Ahli pemohon Made Darma Weda mempermasalahkan definisi makar yang belum ada di KUHP. Makar harus didefinisikan sehingga dapat dibedakan tindak pidana makar dengan tindak pidana lainnya.

“Selama ini rujukannya Pasal 87 KUHP, tapi tak ada definisi apa itu makar,” kata dosen Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Krisnadwipayana tersebut.

Ahli pemohon lainnya, I Ngurah Suryawan, menyebut pemerintah tidak bisa sembarangan mengenakan pasal makar terutama di kalangan masyarakat Papua. Aparat kepolisian kerap membubarkan suku Dani yang berteriak bergerombol sambil mengecat tubuhnya dengan beragam warna. Padahal, itu merupakan ekspresi kebudayaan.

“Jadi jangan sedikit-sedikit dikenai pasal makar. Ini dapat mengekang ekspresi kebudayaan Papua,” tegasnya.

(mediaindonesia.com-dro/p-5)